HISSI Menolak Keras Penyelesaian Sengketa Versi RUU Perbankan Syariah

Usulan pemerintah dinilai bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2006
tentang Pengadilan Agama dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.

Diam-diam, pemerintah berniat menyerahkan kewenangan penyelesaian
sengketa dalam perbankan syariah kepada peradilan umum. Hal itu bisa
terbaca dari usulan pemerintah yang dituangkan pada Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Perbankan Syariah.

Pemerintah mengusulkan agar ada penambahan satu bab khusus soal
penyelesaian sengketa perbankan syariah. Di dalam bab itu terdapat
satu pasal yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pada perbankan
syariah dilakukan oleh pengadilan umum.

Usulan itu ditentang keras oleh Himpunan Ilmuwan Sarjana Syariah
Indonesia (HISSI). “Usulan pemerintah itu bertentangan dengan UU No. 3
Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yang memberi kewenangan kepada
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah,” kata
Ketua HISSI Prof. Amin Suma, pada acara Pertemuan Anggota HISSI di
Jakarta, Jumat (8/2).

Pada Pasal 49 UU Pengadilan Agama (UU PA) memang menyebutkan, salah
satu kompetensi PA adalah menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi
syariah. Dalam hal ini ekonomi syariah dirinci menjadi 11 jenis. Salah
satunya adalah perbankan syariah.

Selain itu, tandas Prof. Amin, usulan pemerintah juga tidak sinkron
dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu,
jika usulan pemerintah diterima, RUU Perbankan Syariah akan
bertentangan secara horizontal dengan UU PA dan bertentangan secara
vertikal dengan UU Kekuasaan Kehakiman.

“Mengenai pengadilan mana yang berwenang, biarlah itu mengacu kepada
Undang-Undang yang sudah ada. RUU Perbankan Syariah ini tidak perlu
mengaturnya, ” ujar Prof. Amin. Menurut Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta ini, langkah DPR sudah tepat ketika tidak memasukkan
masalah penyelesaian sengketa ke dalam draf RUU ini.

Rejim Bisnis

UU PA disahkan pada Maret 2006. Artinya, belum genap dua tahun PA
memiliki wewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Kini
wewenang itu akan beralih kepada pengadilan umum. “Ini kacau nantinya.
Pemerintah yang memberi wewenang PA melalui UU No. 3 Tahun 2006,
sekarang pemerintah juga yang mencabut,” kata Prof. Fathurrahman
Djamil, Guru Besar UIN Jakarta.

Ia ini menjelaskan, penyusunan RUU Perbankan Syariah mulai dirintis
lima tahun silam. Bank Indonesia (BI), selaku regulator, saat itu
sudah melakukan kajian intensif soal pengadilan mana yang secara ideal
menyelesaikan sengketa perbankan syariah.

Bersama sebuah tim konsultan dari UIN Jakarta yang diketuai Prof.
Fathurrahman, BI, pada 2003 menyusun laporan “Prinsip-prinsip Hukum
Islam dalam Transaksi Ekonomi pada Perbankan Syariah”. Laporan itu
lantas dijadikan back up paper RUU Perbankan Syariah.

Laporan itu menyebutkan, sengketa ekonomi syariah bisa dituntaskan
dengan tiga alternatif. Perundingan kedua belah pihak yang bersengketa
atau sulh merupakan alternatif pertama. Jika gagal, alternatif kedua
ialah memanfaatkan lembaga arbitrase. Dan, alternatif ketiga, jika
arbitrase tidak membuahkan hasil, ialah membawa ke PA. Laporan ini
merekomendasikan agar UU No. 7 Tahun 1989 direvisi sehingga PA
memiliki kompetensi di bidang ini.

Menurut Prof. Fathurrahman, BI banyak memberikan kontribusi dalam
penyusunan RUU Perbankan Syariah. Namun, karena yang punya inisiatif
membuat RUU ini ialah pemerintah (Departemen Keuangan), sebagian
gagasan BI diabaikan.

Pada dasarnya, kata Prof. Fathurrahman, sejak awal BI menghendaki agar
persoalan pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan
syariah tidak dicantumkan dalam RUU ini. “Karena, ini bukan rejim-nya.
Rejim Undang-Undang ini adalah bisnis, bukan kekuasaan kehakiman,”
tandasnya.

Tidak ikut Campur

Secara terpisah, ketika diminta tanggapan terkait RUU Perbankan
Syariah, Dirjen Badan Peradilan Agama MA (Badilag) Wahyu Widiana
menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR. “Kami tidak ikut
campur. Kami akan menjalankan apa pun yang diamanatkan Undang-Undang, ”
paparnya.

Wahyu menyadari, usulan pemerintah tersebut akan mengurangi kewenangan
PA. Meski demikian, pihaknya tidak mengintervensi proses legislasi
ini. “Kami di MA tidak memberikan pendapat, kecuali jika diminta
menjadi narasumber,” jelasnya.

Di senayan, pembahasan DIM RUU Perbankan Syariah baru dilangsungkan
pada 11-12 Februari. Pekan lalu, seluruh fraksi telah menyampaikan
pendapatnya ketika Komisi XI DPR mengadakan rapat dengar pendapat
bersama pemerintah.

HISSI berencana menyampaikan sikapnya secara langsung kepada Panitia
Kerja DPR yang mengutak-atik pasal demi pasal RUU ini. “Kami optimis
DPR akan menolak usulan pemerintah. Pengadilan Agama akhirnya tetap
diberi kewenangan menyelesaikan sengketa perbankan syariah,” cetus
pengurus HISSI Jaenal Aripin. Tidak hanya HISSI yang bakal `curhat’ kepada wakil rakyat, beberapa
elemen lain juga bakal turut serta. Menurut Sekretaris Pusat
Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat (PPHIM) Zainuddin Fajari, usulan
pemerintah ini sudah didengar masyarakat di daerah. “Tokoh-tokoh dan
ulama-ulama di daerah sudah menyampaikan protesnya. Kami mendapat
surat dari MUI daerah-daerah seperti Jawa Timur, NTB, Kalimantan, dan
lain-lain,” bebernya.

About The Author