JAKARTA, HISSI.OR.ID – Suasana khidmat menyelimuti HISSI Center di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, pada Jumat sore, 26 Desember 2025. Puluhan tokoh hukum, akademisi, dan praktisi ekonomi syariah berkumpul, baik secara fisik maupun melalui layar virtual yang menampilkan ratusan partisipan dari berbagai penjuru Indonesia. Hari itu menandai sebuah tonggak sejarah: Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) genap berusia 17 tahun.
Dalam usia yang sering disebut sebagai sweet seventeen atau fase menuju kedewasaan penuh ini, HISSI menggelar acara “Tasyakur dan Tafakur” dengan tema besar Refleksi Dinamika Syariah Tahun 2025. Acara yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Hj. Euis Amalia, M.Ag., MH ini bukan sekadar seremonial potong tumpeng, melainkan sebuah forum intelektual tingkat tinggi yang membedah masa lalu, masa kini, dan masa depan hukum Islam di Indonesia.
Diawali dengan doa yang dipimpin oleh Dr. Abdurrauf, LC, MA, yang membawa suasana hening dan spiritual, forum ini kemudian bergulir menjadi diskusi bernas yang menyoroti pergeseran paradigma hukum syariah di tanah air—dari isu yang sempat dianggap sensitif secara politik hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern dan sistem hukum positif negara.
Melawan Lupa: Transformasi Stigma Menjadi Gaya Hidup
Diskusi dibuka dengan napak tilas sejarah yang dibawakan oleh Prof. Dr. Drs. KH. Muhammad Amin Suma, BA, SH, MA, MM. Dengan suara baritonnya yang khas, Ketua Umum MPN HISSI ini mengajak peserta menyelami lorong waktu, kembali ke masa di mana kata “syariah” masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian kalangan elit politik.
“Dulu, di era Orde Lama hingga paruh awal Orde Baru, bicara syariah itu sensitif. Ada stigma politik kanan yang melekat,” kenang Prof. Amin Suma. Namun, ia menekankan bahwa badai itu telah berlalu. Tahun 2025 menjadi saksi bagaimana syariah telah bermetamorfosis. Ia bukan lagi sekadar isu ideologis, melainkan telah menjadi lifestyle (gaya hidup) dan komoditas ekonomi bernilai tinggi. Industri halal, pariwisata ramah muslim, hingga perbankan syariah kini menjadi primadona yang diperebutkan, bahkan di negara-negara non-muslim.
Menyambung narasi sejarah tersebut, Dr. Drs. H. Wahiduddin Adams, BA, SH, MH, mantan Hakim Konstitusi yang kini menjabat Ketua Majelis Hukama HISSI, membuka lembaran strategi politik hukum (siyasah syar’iyyah) yang jarang diketahui publik. Ia mengulas kembali momen krusial lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
“Para pendahulu kita menggunakan strategi yang sangat cerdas,” ungkap Wahiduddin. “Mereka tidak lagi bersikeras memasukkan ‘Tujuh Kata’ dalam Piagam Jakarta yang selalu memicu resistensi ideologis.
Sebaliknya, mereka masuk melalui pintu ‘Kekuasaan Kehakiman’ Pasal 24 UUD 1945.”
Strategi ini terbukti jitu. Tanpa kegaduhan politik yang berarti, Peradilan Agama berhasil diakui sejajar dengan peradilan umum, militer, dan tata usaha negara. Wahiduddin menyebut ini sebagai kemenangan substansial: nilai syariah masuk menjadi hukum positif tanpa harus melabeli dirinya secara politis. Deretan regulasi sektoral—mulai dari UU Zakat, UU Wakaf, hingga UU Jaminan Produk Halal—adalah buah manis dari strategi “senyap” tersebut.

Realitas di Lapangan: Hakim yang ‘Berlari’ Mengejar Pasar
Namun, dinamika perjalanan sejarah penerapan syariah di Indonesia, segera berganti dengan paparan data yang menyentak dari Yang Mulia Dr. H. Yasardin, SH., M.Hum. Sebagai Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung RI, Yasardin membawa perspektif praktisi yang bergelut dengan realitas sengketa di meja hijau.
Di balik gemerlap pertumbuhan aset perbankan syariah, tersimpan tantangan kompetensi yang serius. “Dari total 2.811 hakim Pengadilan Agama yang kita miliki saat ini, baru sekitar 861 orang atau 23 persen yang telah bersertifikasi Hakim Ekonomi Syariah,” papar Yasardin. Angka ini menjadi lampu kuning, mengingat sengketa ekonomi syariah di tahun 2025 semakin kompleks, melibatkan instrumen derivatif, pasar modal, hingga fintech.
Mahkamah Agung, menurut Yasardin, tidak tinggal diam. Program pengiriman hakim untuk belajar ke luar negeri—seperti ke Arab Saudi, Qatar, dan Maroko—terus digenjot. Namun, masalah bukan hanya pada SDM, melainkan juga pada regulasi yang tumpang tindih.
YM Dr. Yasardin menyoroti satu celah hukum yang sering menjadi “mimpi buruk” bagi kepastian hukum syariah: eksekusi Hak Tanggungan dan Kepailitan. “Pasal 55 UU Perbankan Syariah jelas mengamanatkan penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama. Tapi dalam praktiknya, ketika menyangkut kepailitan, kasusnya sering kali ditarik ke Pengadilan Niaga di lingkungan Peradilan Umum,” jelasnya dengan nada prihatin. Akibatnya, asas-asas syariah sering kali terabaikan dalam proses eksekusi aset, digantikan oleh norma hukum kepailitan konvensional.
Untuk mengatasi ini, Mahkamah Agung telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) khusus guna merumuskan aturan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang berbasis syariah. Tujuannya satu: memastikan agar nasabah bank syariah yang bangkrut tetap diperlakukan dengan prinsip-prinsip syariah, bukan dengan hukum rimba kapitalisme murni.
Seruan Moral: Jangan Sampai Ekonomi Syariah Kehilangan “Ruh”
Suasana diskusi semakin hangat ketika giliran Dr. Riawan Amin berbicara. Praktisi senior yang dikenal vokal ini memberikan “sentilan” yang membangunkan kesadaran para peserta. Ia tidak bicara soal pasal atau ayat hukum, melainkan soal spirit (ruh) ekonomi itu sendiri.
“Jangan sampai kita sibuk membuat bank syariah menjadi besar, tapi isinya sama saja dengan bank konvensional,” kritiknya tajam. Riawan menyoroti kerapuhan sistem ekonomi global yang berbasis mata uang fiat—uang kertas yang nilainya tidak dipatok pada aset riil. Ia menyebutnya sebagai ekonomi “angin” yang rawan krisis.
Bagi Riawan, tugas ilmuwan HISSI bukan sekadar menjustifikasi produk perbankan agar terlihat syariah (hilah), melainkan memikirkan fundamental ekonomi yang berkeadilan. “Ekonomi syariah harus kembali ke sektor riil. Kita harus berani menawarkan alternatif terhadap hegemoni dolar dan sistem bunga yang mencekik,” tegasnya.

Menuju 2026: Mimpi Besar tentang ‘Omnibus Law’ Syariah
Menjelang akhir sesi, Prof. Euis Amalia merangkum benang merah diskusi dengan meminjam teori sistem hukum Lawrence M. Friedman. Ia membedah kondisi hukum ekonomi syariah Indonesia dalam tiga lapisan: substansi, struktur, dan budaya.
“Secara substansi, kita sebenarnya sudah sangat kaya. Fatwa DSN-MUI sudah lebih dari 165. Peraturan OJK tentang fintech, cryptocurrency, hingga hedging syariah sudah ada,” urai Prof. Euis.
Namun, kekayaan regulasi ini tersebar bak serpihan puzzle yang belum menyatu. Para hakim di pengadilan sering kali harus melakukan rechtsvinding (penemuan hukum) yang melelahkan atau terpaksa merujuk pada Buku III KUH Perdata yang notabene warisan Belanda karena belum adanya kodifikasi hukum materiil syariah yang lengkap.
“Maka, rekomendasi terbesar dari milad ke-17 ini adalah mendesaknya kebutuhan akan semacam Omnibus Law atau Umbrella Law Ekonomi Syariah,” tegas Prof. Euis. Undang-undang sapu jagat ini diperlukan untuk mengharmonisasikan fatwa, peraturan OJK, peraturan BI, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menjadi satu kesatuan hukum yang mengikat dan kuat.
Tanpa Omnibus Law, ekonomi syariah Indonesia ibarat raksasa yang kakinya terikat oleh benang-benang regulasi yang semrawut.
Epilog: Menatap Masa Depan
Acara yang berlangsung hingga pukul 16.00 WIB ini ditutup dengan optimisme. Kehadiran para pengurus MPN, MPW, dan MPD HISSI, serta para hakim Pengadilan Agama se-Indonesia secara daring, menunjukkan soliditas organisasi ini.
Milad ke-17 HISSI tahun 2025 ini menegaskan bahwa fase perjuangan “pengakuan eksistensi” telah usai. Kini, tantangan beralih pada “pengisian substansi”. Bagaimana mengisi struktur hukum yang sudah mapan dengan hukum materiil yang berkualitas dan hakim yang kompeten, serta memastikan ekonomi syariah tetap memiliki “ruh” keadilan.
Di usia yang ke-17, HISSI telah membuktikan diri bukan sekadar organisasi paguyuban, melainkan “Think Tank” raksasa yang siap mengawal perjalanan hukum Islam di Indonesia menuju masa keemasannya. Refleksi hari itu menjadi pengingat: pekerjaan rumah masih banyak, namun fondasi telah tertanam kuat.
Penutup: Doa dan Harapan di Ujung Tahun
Diskusi berat itu ditutup dengan momen yang cair dan penuh kekeluargaan. Prof. Amin Suma didaulat untuk memotong tumpeng nasi Kebuli, simbol rasa syukur atas 17 tahun perjalanan organisasi ini.
Potongan tumpeng kebuli itu bukan sekadar makanan, melainkan simbol estafet perjuangan. Dari generasi pendiri yang berjuang agar Pengadilan Agama diakui negara, kini tongkat estafet beralih ke generasi penerus yang harus memperjuang isi dan kualitas hukumnya.
“Semoga di tahun 2026 nanti, kita tidak lagi hanya bicara soal pengakuan eksistensi, tapi sudah bicara soal dominasi kontribusi ekonomi syariah bagi kesejahteraan bangsa,” tutup moderator, diiringi ucapan “Amin” yang menggema baik di ruangan maupun di ruang virtual Zoom.
Acara Tasyakur dan Tafakur Milad HISSI ke-17 ini menegaskan bahwa HISSI bukan sekadar kumpulan akademisi menara gading. Ia adalah rumah besar tempat bertemunya gagasan langit (wahyu) dan realitas bumi (hukum positif), yang terus berikhtiar menjaga agar kapal besar bernama Indonesia tetap berlayar dalam koridor keberkahan.
Selamat Milad ke-17, HISSI. Perjalanan baru saja dimulai.
About The Author
You may also like
-
Tangis Sumatera, Aksi Nyata HISSI Gelorakan ‘Fiqh Sosial’ Membasuh Luka Bencana 2025
-
Menyingkap Tabir Nikah Sirri Online: Antara Jalan Pintas Digital dan Jerat Prostitusi Terselubung
-
HISSI dan DSN-MUI Bersinergi, Kawal Fatwa dan Perkuat Otoritas Syariah di Tengah Tantangan Yudisial dan Akademik
-
HISSI dan PTA Jakarta Pecahkan Kebekuan Teori dan Praktik Ekonomi Syariah di Meja Diskusi
-
Silaturahmi dan MoU HISSI dan Badilag MA RI: Membangun Fondasi Bersama bagi Reformasi Hukum dan Penguatan Syariah di Indonesia
