JAKARTA – Sabtu pagi itu, ruang virtual Zoom Meeting dipenuhi oleh ratusan partisipan yang datang dengan satu pertanyaan besar. Di era di mana segala sesuatu hanya sejauh satu ketukan jari di layar ponsel, apakah institusi tersuci dalam peradaban manusia—pernikahan—juga telah tereduksi menjadi sekadar transaksi digital?
Kegelisahan inilah yang menjadi jantung diskusi dalam webinar “HISSI Menyapa ke-24” yang digelar oleh Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) pada Sabtu (6/12/2025). Mengusung tema yang menohok, “Jalan Pintas Digital atau Prostitusi Terselubung?: Dilema Sosial dan Etika Fenomena Nikah Sirri Online,” forum ini menjadi panggung perbedahahan antara kemudahan teknologi dan sakralitas agama.
Suasana hening seketika pecah ketika Sekretaris Jenderal HISSI, Ah. Azharuddin Lathif, membuka acara dengan sebuah narasi yang menggugah. Dalam sambutannya, ia melukiskan paradoks zaman ini: teknologi yang seharusnya menjadi jembatan, kini justru mendatangkan air bah dilema etika.
“Hari ini, jarak tak lagi berarti. Namun, yang menjadi pertanyaan kita adalah: Apakah jembatan digital ini juga berlaku untuk institusi yang paling sakral dalam agama kita, yaitu pernikahan?” ujar Azharuddin dengan nada retoris.
Ia menyoroti fenomena di mana Mitsaqan Ghalizha—perjanjian yang agung dan berat di hadapan Tuhan—kini terancam direduksi menjadi sekadar ‘klik’ di dunia maya. “Apakah ini sebuah solusi, ataukah keretakan pada konsep tanggung jawab yang berujung pada prostitusi terselubung?” tanyanya, memantik diskusi panas yang berlangsung selama dua jam ke depan.
Pergeseran Makna: Dari Keamanan Menuju Komersialisasi
Sesi pertama diskusi dibuka oleh Prof. Euis Nurlaelawati, M.A., Ph.D., anggota Majelis Pakar HISSI. Dengan latar belakang akademis yang kuat, Prof. Euis mengajak peserta menelusuri kembali akar historis dan fikih dari nikah sirri.
Dalam paparannya yang bertajuk “Konsep Nikah Sirri: Fikih Klasik,” Prof. Euis menjelaskan bahwa secara bahasa, ‘sirri’ berarti rahasia atau tersembunyi. Dalam literatur fikih klasik, pernikahan yang dirahasiakan ini memang pernah ada, namun konteksnya jauh berbeda dengan hari ini. Dahulu, kerahasiaan mungkin diperlukan demi keamanan atau alasan syar’i tertentu. Namun, Prof. Euis menekankan bahwa esensi pernikahan dalam Islam justru menuntut adanya I’lan atau pengumuman.
“Saksi dan I’lan adalah pilar penting dalam fikih untuk membedakan antara pernikahan yang sah dan hubungan yang batil,” jelas Prof. Euis. Ia menyoroti bagaimana pergeseran makna terjadi begitu drastis dalam konteks Indonesia kontemporer. Jika dulu ‘sirri’ dimaknai sebagai upaya menjaga marwah di tengah situasi genting, kini nikah sirri—terutama yang difasilitasi secara online—seringkali kehilangan ruh maqashid syariah-nya.
Prof. Euis membedah dilema hukum yang muncul. Di satu sisi, ada pandangan fikih yang melonggarkan syarat kehadiran fisik asalkan rukun terpenuhi. Namun, di sisi lain, negara melalui UU Perkawinan menuntut pencatatan demi ketertiban administrasi dan perlindungan hak sipil. “Ada dilema keislaman di sini, penekanan pada konteks sifat ‘sirr’-nya itu sendiri. Apakah kerahasiaan ini ditujukan untuk kebaikan, atau justru untuk menutupi niat yang tidak baik?” tanyanya. Ia secara tegas mengaitkan fenomena ini dengan potensi hidden prostitution (prostitusi terselubung), di mana label agama digunakan untuk melegalkan hubungan seksual sesaat tanpa komitmen jangka panjang.
Pasar Gelap Pernikahan di Ruang Digital
Jika Prof. Euis memotret dari sudut pandang hukum dan teori, maka Prof. Dr. Achmad Kholik, M.Ag., Ketua MPD HISSI Cirebon Raya, membawa peserta melihat realitas sosial yang lebih suram dan pragmatis. Dalam presentasinya, Prof. Kholik menggambarkan bagaimana teknologi digital telah menciptakan “ledakan layanan” nikah sirri yang mudah diakses siapa saja, kapan saja.
“Kita sedang menghadapi budaya instan,” tegas Prof. Kholik. “Teknologi menawarkan ‘solusi cepat’ bagi pasangan yang ingin menghindari prosedur formal. Mereka melihat birokrasi resmi sebagai sesuatu yang rumit, mahal, dan penuh stigma. Akibatnya, mereka lari ke layanan online yang menawarkan kemudahan tanpa batas”.
Prof. Kholik menyoroti adanya komersialisasi sakralitas. Akad nikah yang suci kini diperjualbelikan layaknya barang dagangan di marketplace. “Ini menggerus nilai spiritualitas. Pernikahan berubah menjadi sekadar transaksi administratif belaka, kehilangan makna transendentalnya,” ujarnya dengan nada prihatin.
Lebih jauh, ia memaparkan data dan fakta lapangan yang menunjukkan bahwa praktik ini sangat rentan menjadi modus operandi baru bagi prostitusi dan kawin kontrak. “Ini berpotensi besar menjadi kedok. Ada modus hubungan sementara yang sangat merugikan, terutama bagi perempuan,” tambah Prof. Kholik. Perempuan menjadi pihak yang paling rentan dieksploitasi, mudah ditinggalkan tanpa tanggung jawab nafkah, dan tidak memiliki payung hukum untuk menuntut keadilan.
Perdebatan Validitas: Sah atau Tidak?
Salah satu poin krusial yang menjadi perdebatan hangat dalam webinar ini adalah validitas proses akad nikah yang dilakukan secara daring. Prof. Kholik mengangkat isu Ittihadul Majelis (kesatuan majelis), yakni syarat bertemunya wali, saksi, dan kedua mempelai dalam satu tempat.
“Ada perdebatan video call yang belum tuntas. Khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai keabsahan akad via video call masih sangat tajam. Apakah layar kaca bisa menggantikan kehadiran fisik? Bagaimana memastikan wali dan saksi itu valid dan tidak di bawah tekanan?” tanya Prof. Kholik.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dalam dunia digital yang penuh manipulasi, risiko penipuan sangat tinggi. Identitas bisa dipalsukan, dan syarat-syarat syar’i bisa dimanipulasi demi memuluskan “transaksi” tersebut. Tanpa kehadiran fisik dan verifikasi yang ketat, pernikahan online menjadi lahan subur bagi penyalahgunaan UU ITE dan penipuan berkedok agama.
Dampak Domino: Istri dan Anak Tanpa Perlindungan
Kedua narasumber sepakat bahwa dampak terbesar dari fenomena ini adalah kehancuran struktur sosial keluarga. Prof. Kholik merinci dampak destruktifnya: istri dan anak-anak yang lahir dari pernikahan sirri online tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“Mereka tidak tercatat di lembaran negara. Artinya, hak-hak sipil mereka tidak terlindungi,” jelas Prof. Kholik. Anak-anak menghadapi masalah ketidakjelasan status nasab, yang berdampak pada hak waris dan perwalian di masa depan. Belum lagi sanksi sosial berupa stigma yang harus ditanggung oleh keluarga.
Ketimpangan gender menjadi isu yang sangat mencolok. Dalam banyak kasus yang dipaparkan, perempuan seringkali hanya menjadi objek pemuas kebutuhan sesaat dengan dalih “menghindari zina”, namun pada akhirnya ditinggalkan begitu saja tanpa ada mekanisme hukum yang bisa membelanya. “Ini adalah bentuk ketidakadilan gender dan kerugian ekonomi yang nyata,” tegas Prof. Kholik.
Mencari Solusi di Tengah Kekosongan Hukum
Mengapa fenomena ini terus menjamur? Prof. Kholik menganalisis bahwa selain faktor teknologi, rendahnya literasi masyarakat tentang hukum perkawinan dan literasi digital menjadi penyebab utama. Masyarakat seringkali tidak menyadari konsekuensi jangka panjang dari keputusan sesaat mereka.
Selain itu, terdapat kekosongan hukum (vacuum of law). Belum ada aturan spesifik yang mengatur secara detail mengenai praktik nikah digital non-resmi ini, menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa nikah sirri online nakal.
Sebagai penutup diskusi, para narasumber menawarkan sejumlah rekomendasi konkret.
Prof. Euis dan Prof. Kholik sepakat bahwa pemerintah perlu segera turun tangan. “Diperlukan payung hukum yang kuat dan penertiban tegas terhadap platform digital yang memfasilitasi praktik ilegal ini,” saran Prof. Kholik.
Namun, hukum saja tidak cukup. Diperlukan pendekatan kolaboratif lintas sektor. Pemerintah perlu mempermudah akses layanan nikah resmi agar stigma “rumit dan mahal” bisa dihapus. Di sisi lain, ulama dan tokoh masyarakat harus gencar melakukan edukasi dan kampanye literasi.
“Masyarakat harus dilatih untuk mendeteksi modus penipuan. Kampanye masif tentang UU Perkawinan dan hak-hak keluarga harus digencarkan,” ujar Prof. Kholik menutup presentasinya.
Refleksi Akhir: Menjaga Ruh Hukum Islam
Webinar ditutup dengan sebuah refleksi mendalam dari Ketua Umum MPN HISSI, Prof. Amin Suma. Memberikan perspektif seorang begawan hukum Islam, ia tidak lantas mengharamkan teknologi secara membabi buta, namun memberikan batasan etis yang jelas.
Prof. Amin berbagi pengalamannya pada tahun 1989 terkait kasus pernikahan jarak jauh (Indonesia-Amerika Serikat). Kala itu, pernikahan tersebut dinyatakan sah secara fikih karena terpenuhinya syarat dan rukun, meskipun akad dilakukan melalui media komunikasi. Merujuk pada Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, ia menegaskan bahwa konsep ittihād al-majlis (kesatuan majelis) harus dipahami secara substansi hukum (fī al-ḥukm), bukan semata-mata kehadiran fisik (fī al-‘ayn).
Namun, ia memberikan garis tebal: “Tidak semua akad melalui media komunikasi dapat dinyatakan sah apabila syarat dan rukunnya tidak terpenuhi atau rentan manipulasi.”
Terkait isu yang lebih sensitif seperti talak, Prof. Amin membedakan karakter hukumnya. Ia berpendapat bahwa talak wajib disertai saksi, sejalan dengan pandangan Mazhab Maliki dan munāsabah ayat-ayat Al-Qur’an (Surat At-Talaq). Hal ini untuk mencegah kesewenang-wenangan yang sering terjadi dalam pernikahan sirri.
Penutupan dari Prof. Amin Suma menegaskan posisi HISSI: bahwa tugas ilmuwan syariah bukan sekadar menghakimi fenomena zaman, tetapi menjaga agar ruh hukum Islam—yakni keadilan dan kemaslahatan—tetap tegak berdiri, bahkan di tengah gempuran arus digitalisasi yang tak terbendung. Webinar ini menjadi pengingat keras bahwa agama hadir untuk memuliakan manusia, bukan untuk menjadi kedok bagi hasrat sesaat yang merugikan
Webinar HISSI Menyapa ke-24 ini ditutup dengan kesimpulan yang mendalam. Fenomena nikah sirri online bukanlah sekadar isu hukum fikih semata, melainkan sebuah persimpangan krusial antara kebutuhan manusia, penyimpangan moral, dan kerentanan sosial.
Seperti yang disampaikan oleh Sekjen HISSI di awal acara, tugas para ilmuwan dan sarjana Syariah adalah merumuskan panduan yang menjaga kemaslahatan umat. Agama hadir untuk memuliakan manusia, bukan untuk menjadi kedok bagi eksploitasi.
Di tengah gemerlapnya era digital, pesan dari forum ini sangat jelas: kemudahan teknologi tidak boleh menggadaikan kesakralan janji suci pernikahan. Jalan pintas digital yang terlihat indah, jika tidak diwaspadai, hanyalah lorong gelap menuju degradasi moral dan ketidakadilan sosial.
About The Author
You may also like
-
HISSI dan DSN-MUI Bersinergi, Kawal Fatwa dan Perkuat Otoritas Syariah di Tengah Tantangan Yudisial dan Akademik
-
HISSI dan PTA Jakarta Pecahkan Kebekuan Teori dan Praktik Ekonomi Syariah di Meja Diskusi
-
Silaturahmi dan MoU HISSI dan Badilag MA RI: Membangun Fondasi Bersama bagi Reformasi Hukum dan Penguatan Syariah di Indonesia
-
MoU Bersejarah HISSI dan PTA Jakarta: Ikhtiar Menciptakan Peradaban Hukum Yang Lebih Kuat dan Responsif Terhadap Dinamika Zaman
-
Panduan Untuk Bergabung Menjadi HISSI-wan & HISSI-wati
