JAKARTA, 28 Juni 2025 – Majelis Pengurus Nasional Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (MPN HISSI) kembali menunjukkan komitmennya dalam mengawal isu-isu krusial masyarakat melalui acara webinar nasional “HISSI MENYAPA” yang ke-22. Mengusung tema “KETAHANAN KELUARGA: MULTI TANTANGAN YANG DIHADAPI DAN MULTI SOLUSI YANG DINANTI”, webinar ini menjadi platform penting untuk mengupas berbagai problematika yang mendera unit terkecil masyarakat ini, sekaligus merumuskan solusi komprehensif dari berbagai perspektif.
Diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meeting pada Sabtu, 28 Juni 2025, pukul 06.00 – 08.00 WIB, acara ini berhasil menarik perhatian luas, terlihat dari partisipasi aktif para akademisi, praktisi hukum, psikolog, dan masyarakat umum. Webinar ini menghadirkan dua pembicara utama yang kredibel di bidangnya, didampingi oleh YM Dr. Elvin Nailana, SH, MH, seorang moderator yang kompeten, serta dibuka dengan sambutan inspiratif dari Ketua Umum MPN HISSI.
Pentingnya Ketahanan Keluarga di Tengah Arus Tantangan Modern
Dalam sambutannya, Ketua Umum MPN HISSI, Prof. Dr. KH. M. Amin Suma, S.H., M.A., M.M., menegaskan relevansi tema webinar ini dalam konteks kondisi sosial Indonesia saat ini. Beliau menyoroti tiga isu utama yang menjadi dasar urgensi diskusi ini:
Pertama, peningkatan angka perceraian yang mengkhawatirkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lonjakan kasus perceraian di Indonesia, bahkan mencapai angka tertinggi dalam enam tahun terakhir dengan 516.334 kasus pada tahun 2022. Fenomena ini mencerminkan banyaknya keluarga disfungsional yang memerlukan perhatian serius. Data perceraian tahun 2024 sendiri tercatat mencapai 463.961 kasus, menunjukkan tantangan besar dalam membangun keluarga tangguh. Penyebab paling dominan adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus (314.181 kasus), diikuti alasan ekonomi (101.011 kasus). Faktor lain meliputi meninggalkan salah satu pihak, KDRT, zina, judi, mabuk, murtad, hukuman penjara, poligami, narkotika, cacat badan, dan kawin paksa.
Kedua, menurunnya minat masyarakat terhadap program studi Ahwal Syakhshiyyah (Hukum Keluarga Islam). Prof. Amin Suma menggarisbawahi bahwa penurunan ini berpotensi mengurangi jumlah pakar hukum keluarga yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kompleksitas masalah keluarga di masa depan.
Ketiga, kurangnya pengungkapan isu-isu hukum keluarga dalam forum ilmiah. Beliau menekankan bahwa meskipun problematika keluarga merupakan salah satu tantala terbesar di Indonesia, pembahasan mendalamnya masih jarang ditemukan dalam diskusi-diskusi ilmiah. Webinar ini diharapkan dapat mengisi kekosongan tersebut dan mendorong lebih banyak penelitian serta kajian di bidang hukum keluarga.
Perspektif Hukum Islam: Peran Peradilan Agama sebagai Juru Damai
Sesi pertama menghadirkan Yang Mulia Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H., Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, yang membawakan materi berjudul “Membangun Keluarga Tangguh dari Perspektif Hukum Islam: Peran Peradilan Agama dalam Resolusi Konflik dan Penguatan Ikatan Keluarga“. Beliau mengawali paparannya dengan landasan teologis dari Al-Qur’an, yaitu Surat Ar-Rum ayat 21, yang menegaskan bahwa hubungan suami-istri adalah ikatan ruhani yang ditopang oleh ketenteraman (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ayat lain, Surat Al-Baqarah ayat 233, menyoroti pentingnya pembagian tanggung jawab yang seimbang antara suami dan istri dalam pengasuhan anak dan pemeliharaan rumah tangga, sebagai fondasi ketahanan keluarga.
Ym Dra. Muhayah menguraikan upaya-upaya membangun ketahanan keluarga menjadi dua kategori: internal dan eksternal. Upaya internal mencakup penguatan nilai-nilai agama, komunikasi yang sehat dan efektif, menjalankan peran yang seimbang antar anggota keluarga, dan manajemen keuangan yang transparan dan efektif.
“Krisis moral dalam keluarga seringkali berakar dari runtuhnya nilai-nilai spiritual,” ujarnya. “Ketahanan keluarga hanya dapat dibangun di atas kesadaran religius yang hidup, bukan sekadar simbol seremonial.” Ia juga menekankan bahwa “komunikasi yang sehat bukan aksesori, melainkan fondasi” karena banyak keluarga hancur karena kegagalan komunikasi yang jujur dan empatik. Selain itu, “ketahanan keluarga hanya akan terwujud bila ada pembagian peran yang adil, fleksibel, dan didasarkan pada prinsip kesalingan—bukan dominasi.”
Di sisi eksternal, YM. Dra. Muhayah menyoroti pentingnya peningkatan literasi hukum, layanan konseling dan bimbingan keluarga, serta sinergi antar lembaga. Beliau menegaskan bahwa literasi hukum adalah kebutuhan mendesak agar anggota keluarga memahami hak dan kewajiban mereka secara objektif. Selain itu, ia menambahkan bahwa “banyak konflik keluarga bisa dicegah atau diredam jika pihak ketiga yang profesional dilibatkan lebih awal,” menyoroti pentingnya layanan konseling.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya ini juga menjelaskan peran strategis Pengadilan Agama dalam resolusi konflik keluarga. Dalam setiap perkara perceraian, hakim memiliki kewajiban moral dan undang-undang untuk melakukan upaya damai, terutama untuk mencegah dampak luas pada anak dan stabilitas sosial. Mediasi diwajibkan sebagai ruang refleksi bagi pihak yang berselisih. Hakim tidak hanya berperan sebagai pemutus perkara, tetapi juga sebagai pembina keluarga, pendidik nilai, dan juru damai. Pengadilan Agama juga menjadi benteng keadilan bagi perempuan dan anak yang seringkali lemah secara sosial maupun ekonomi, dengan mengedepankan pendekatan yang tidak hanya legal formal tetapi juga penuh empati dan keberpihakan etis.
Resiliensi Psikologis Keluarga: Membangun Kesejahteraan Emosional
Sesi kedua menghadirkan Kassandra Putranto, M.Psi., seorang Psikolog Klinis Forensik, yang membahas “Resiliensi Psikologis Keluarga: Strategi Praktis Menghadapi Tekanan dan Penguatan Kesejahteraan Emosional“. Beliau mengidentifikasi berbagai “situasi berisiko tinggi di Indonesia” dan “tantangan yang dihadapi keluarga” saat ini, termasuk krisis finansial dan masalah yang timbul dari interaksi orang tua dan anak di era digital. Data menunjukkan bahwa 88,99% anak usia 5 tahun ke atas mengakses internet untuk media sosial, dan adanya peningkatan kasus anak kecanduan gadget.
Kassandra Putranto menyoroti dampak minimnya ketahanan keluarga, yang dapat menyebabkan berbagai masalah seperti siswi pura-pura diculik karena masalah keluarga, konflik keluarga yang berujung pada perusakan nisan makam, hingga kasus bunuh diri akibat masalah keluarga. Beliau juga memaparkan “aktivitas berisiko pada remaja” menurut Zuckermen (2000), meliputi merokok, mengonsumsi alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, perilaku seksual tidak aman, mengemudi gegabah, berjudi, masalah akademik, menikah muda, dan kekerasan.
“Mengapa resiliensi keluarga menjadi penting?” tanya Kassandra. Jawabannya adalah untuk mencegah kenakalan remaja, kekerasan, pernikahan dini, dan perilaku menyimpang; menanamkan nilai dan karakter positif sejak dini; menunjang kebutuhan dasar dan tumbuh kembang anak; serta memberi rasa aman dan membentuk kepribadian anak.
Karakteristik ketahanan keluarga menurut Kassandra mencakup komunikasi terbuka, jaringan keluarga yang mendukung, kehangatan dalam keluarga, pandangan hidup positif, pengasuhan otoritatif, dan kolaborasi dalam penyelesaian masalah. Ia juga menjelaskan tugas-tugas keluarga menurut Epstein dkk. (1978), yaitu tugas dasar (pemenuhan kebutuhan seperti makanan), tugas perkembangan (pemenuhan tahapan perkembangan psikologis individu dan keluarga), dan tugas bahaya (melewati krisis seperti kecelakaan atau penyakit).
Lebih lanjut, Kassandra Putranto menekankan “pentingnya kesehatan mental ayah” dan “pentingnya kesehatan mental ibu”. Ayah yang depresi dapat berkaitan dengan masalah perilaku anak dan berisiko melakukan kekerasan pada anak laki-laki. Sementara itu, ibu yang cemas/depresi cenderung memiliki anak dengan gangguan perilaku. Kualitas interaksi yang buruk antara ibu dan anak dapat menghasilkan insecure attachment, kesulitan sosioemosional, dan kapasitas empati terbatas pada anak. Peran ibu berfokus pada dukungan emosional dan pengasuhan, yang mendukung perkembangan hippocampus anak, penting untuk pembelajaran, respons stres, dan memori. Anak yang diasuh ibu dengan baik cenderung memiliki otak 2x lebih besar.
Di sisi lain, peran ayah juga semakin penting di masa kini, tidak hanya dalam dukungan material tetapi juga emosional dan arahan perilaku. Pengasuhan ayah yang aktif dan hangat dapat menstimulasi pre-frontal cortex anak, membuat anak lebih berani menimbang risiko dan meregulasi emosi. Sebaliknya, ayah yang sering stres dan berinteraksi negatif dapat menghambat perkembangan kognitif dan bahasa anak.
Salah satu faktor yang berkontribusi pada keluarga disfungsional adalah trauma masa lalu yang tidak terselesaikan, yang dapat diturunkan secara transgenerasional. Ciri-ciri keluarga dengan trauma transgenerasional meliputi keraguan mendiskusikan perasaan, menganggap kerentanan sebagai kelemahan, kecenderungan berkonflik, orang tua yang cemas dan terlalu protektif, serta memiliki batas hubungan yang tidak sehat.
Kassandra Putranto menggarisbawahi bahwa “kesehatan mental ayah dan ibu menjadi kunci dari kesehatan mental anak”. Solusi untuk meningkatkan ketahanan keluarga melibatkan pembangunan keberfungsian keluarga yang baik dengan memahami peran, mengatasi trauma masa lalu, dan memodifikasi pola pikir, respons emosi, serta perilaku yang kurang sehat melalui penerapan CBT-BA (Cognitive Behavioral Therapy – Behavior Activation). Beliau memperkenalkan modifikasi perilaku sebagai teknik untuk menghilangkan atau mengurangi perilaku maladaptif, dengan memanipulasi perilaku melalui reinforcement dan punishment.
Terakhir, beliau menekankan pentingnya pemeriksaan kesehatan mental secara berkala, yang membantu mendeteksi gangguan mental dan hambatan psikologis, serta mengevaluasi faktor risiko genetik, perilaku, maupun lingkungan.
Sinergi untuk Masa Depan Keluarga Indonesia
Webinar “HISSI MENYAPA” ke-22 ini menjadi pengingat penting bahwa membangun keluarga tangguh bukanlah sekadar tugas moral, melainkan investasi peradaban. Sinergi antara instrumen hukum, kearifan budaya, dan visi spiritual sangat diperlukan untuk menjadikan setiap keluarga sebagai benteng terakhir dari keretakan sosial.
Melalui pemaparan yang komprehensif dari Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H., dan Kassandra Putranto, M.Psi., para peserta memperoleh wawasan mendalam mengenai tantangan yang dihadapi keluarga modern serta strategi praktis untuk memperkuat resiliensi psikologis dan keberfungsian keluarga. Peran Pengadilan Agama sebagai juru damai dan pelindung keadilan, serta pendekatan psikologis melalui modifikasi perilaku dan penanganan trauma, menjadi bagian integral dari solusi multi-aspek yang dinanti. Webinar ini diharapkan menjadi pemicu diskusi lebih lanjut dan tindakan nyata untuk mewujudkan keluarga Indonesia yang kokoh dan harmonis di tengah dinamika zaman.
About The Author
You may also like
-
Ketua Umum HISSI Kunjungi Rumah, Makam, dan Perpustakaan Bung Karno di Blitar
-
Ketua Umum HISSI Lakukan Rangkaian Silaturrahmi dan Sosialisasi di Lingkungan PTA Jawa Timur
-
Jejak Langkah HISSI Menuju HISSI University: BINUS Jadi Mercusuar Inspirasi
-
HISSI Kalimantan Timur Siap Berlayar: Pelantikan Pengurus Baru Digelar Virtual, Perkuat Kontribusi Syariah untuk Pembangunan Daerah
-
HISSI DIY Resmi Dilantik di UII: Soroti Krisis Perceraian dan Perkuat Ketahanan Keluarga sebagai Fondasi Bangsa